Minggu, 03 April 2011

KISAH SEORANG TIRAN


Sebuah Catatan dari bilik Istana Rakyat (bagian 2)
KISAH SEORANG TIRAN
KETIKA baru menduduki kursi kekuasaan, semangat Idealisme masih menggelora dan Ayat-ayat Tuhan masih menjadi argumentasi dalam setiap diplomasi karena di dukung oleh Partai Politik yang menggunakan simbol-simbol agama.
Tokoh kita ini penampilannya amat bersaja sejak menjadi pejabat public sebelum menjadi orang nomor 1 di Daerahnya sehingga warisan dari Pimpinan dialah yang akan menjadi “Putra Mahkota” ketika “sang Raja Turun Tahta” pada saat itu. Ia  seorang Muslim yang  taat dilihat dari sudut pelaksanaan syariat dia adalah Muslim sejati
“saya pernah membenci orang2 yang datang menunjukan bagaimana meraih kekayaan, baik dari staf, teman2  terdekat maupun keluarga, mereka berusaha membius dengan membisikan “Pak kesempatan tidak akan selalu terbuka, gunakan jabatan bapak sekarang dengan baik mumpung tanda Tangan bapak masih laku, karena periode yang akan datang bapak tidak bisa mencalonkan lagi karena bertentangan dengan aturan”.
Mungkin cukup lambat  tetapi pasti hembusan memperkaya diri itu semakin menusuk dalam hati. Pintu-pintu kolaborasi mulai terkuak dengan ide2  brilian mulai ditetapkan. Kesibukan Dinas saya tidak begitu tersaingi karena ada putra terbaik saya yang memainkan peran di Legislatif  yang akan mem bac up setiap perizinan mulai dari proyek terkecil samapai proyek raksasa dan dikerjakan melalui Tim Konsultan yang menjadi kepercayaan saya. Pintu-pintu memang terbuka dengan lebar bagi para pembawa angin surga, namun timbul juga bermacam rintangan antara lain lawan politik partai pengusung saya di Legislatif atau para kritikus lainnya. Disini saya mendapat pelajarn penting bahwa “manusia licin selain harus mampu “Tambah, kurang dan kali” tetapi harus tahu bagaimana cara mebagi”
Melalui  kebijakan, saya mulai memainkan peran sebagai sutradara, sehingga tidak satu proyek sekecil apapun yang tidak bisa lewat dari kerja Tim Konsultan saya.  bagaimana mengambil alih Tanah rakyat dan diganti rugi serendah-rendahnya, kemudian dijual kepada investor dengan harga semahal-mahalnya dan tiap tahun perusahaan harus membayar utang budi diluar pajak, terserah apa itu namanya, dengan tanda Tangan sakti, lahan-lahan perkebunan yang sudah habis masa HGU nya walaupun menurut aturan pertanahan tidak tepat yang  terpenting adalah keuntungan secara materi, biarkan petani penggarap disingkirkan bila perlu ditangkap kalau tetap melawan.
Setelah berkuasa dalam dua  masa jabatan, kini saya kembali menjadi anggota masyarakat biasa. Tidak punya jabatan apa2 lagi. Walaupun saya kini sudah kaya raya, rumah saya sepi, tamu-tamu begitu sabar menunggu setiap saat tidak mengenal waktu kini tidak ada lagi. Teman2 yang begitu akrab dan bersahabat kini Cuma sekedar berhalo jika sekali  kebetulan berpapasan.
Hati saya begitu kosong, kekayaan saya kalau dihitung tidak akan habis Tujuh Puluh turunan, rupanya sia-sia untuk mengisi kekosoangan jiwa. Istri saya pun tidak bisa mengeluarkan kata2 dari mulutnya kecuali keluhan dan tangisan . ditengah tumpukan harta benda  istri saya pun kini menjadi gudang menyimpan rupa-rupa penyakit yang tak tersembuhkan.
Satu- satunya sebab kenapa saya tidak membunuh diri, adalah karena di dada ini  masih tersisa sedikit  apa yang orang sebut:  IMAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar