Senin, 28 Maret 2011

SEANDAINYA AKU JADI WALIKOTA


Catatan dari Istana Rakyat
SEANDAINYA AKU JADI WALIKOTA

Suatu senja di Markaz FRAKSI RAKYAT (Forum Aktivis Sukabumi untuk Rakyat) ruangan yang berukuran 3x6 ini, para aktivis ini duduk sambil mendiskusikan persoalan terkini baik politik, social, hokum serta perilaku para Rezim Negeri  ini, ngobrol penuh ketegangan sambil minum kopi Hitam serta kebulan asap rook ibarat zaman PKI  dulu yang dicari manusia setengah Dewa.
Kata orang ngomong itu Gratis, apalagi obrolan warung kopi. Apalagi omongan yang tidak punya bobot, bukankah saban hari kita selalu mendengarkan gendangan kebohongan bau busuk para bedabah lewat televisi…
“eh, ngomong2, seandainya nasib baik berpihak kepada anda , nantinya menjadi Walikota, apa yang anda lakukan” ? celoteh seorang  teman.  Eh.. kau bias aja,! Tetapi sebelumnya perlu digugat terlebi dahulu, kenapa nt menghubungkan jabatan Walikota dengan nasib baik?
‘masa nt pura segala, jabatan yang empuk (emangnya makanan,,hehe) Walikota pasti langsung berkaitan dgn nasib baik Lur (sdr). Dan nasib baik itu pasti mengalir ke nt sendiri (karena kau disini merantua sendirian kecuali  sdr ny dideportasi semua ke sukabumi,,heheh), tetapi  juga kolega, orang nt kenal dekat, termasuk kawan2 pergerakan termasuk saya.’
Saya kurang sependapat dengan nt. Okey, saya bias menerima istilah nasib baik, jika itu diartikan bahwa seorang yang dipilih menjadi Walikota membuktikan kemampuan memipin Rakyat di Daerah kekuasaannya menjacapai kemajuan ke segala sector. Kan nt sendir nyaho (tahu).   Banyak orang yg memiliki kemampuan memimpin tetapi tidak punya peluang untuk membuktikannya, dengan kata lain tidak  bernasib baik. Jadi ana ngasi nyaho ke nt nasib baik itu tidak harus langsung dikaitkan dengan keuntungan bendawi.
“Baiklah kita kembali ke pertanyaan awal. Apa yang anda lakukan jika dipilih jadi walikota?
“Tentunya yang pertama sekali Berdo’a kepada Tuhan yang berbunyi kurang lebih seperti ini, ‘kalau ternyata saya tidak sanggup melaksanakan tugas atau menyimpang dari amanah sumpah jabatan, kiranya Tuhan menggerakan hati Rakyat agar segera menuntu pengunduran diri, bila perlu rakyat lah yang mengkudetakan saya bukan lawan politik saya. Tolong jagan biarkan saya keasyikan’
“kok Do’a anda berbunyi demikian,?
‘saya percaya bahwa kekuasaan  cenderung mendorong orang untuk lupa diri danmerasa kebenaran selalu berada dipihaknya. Do’a ini akan terus saya tanamakan untuk menggerakna langkah memamsang kuda-kuda, sehingga tidak terjadi pembentukan “Rezim” kalau sampai terjadi berarti amanat saya selewengkan. Saya berharap sebelum itu terjadi saya sudah terlempar dari kedudukan. Itulah kandungan harapan Do’a saya.
“Setelah ber Do’a kerja anda seperti apa”?
‘saya akan memeriksa keadaan “mesin”, saya akan menggunakan akal sehat untuk meminta bantuan para pakar untuk memeriksa dan mennangani mesin itu; diteliti mana yang perlu diminyaki atau digemuki, yang terlalu tegang dikendorkan, yang kendor ditegangka sesuai keperluan. Dan kalau ada “suku cadang” yang rusak diperbaiki segera dan pada tingkat kerusakan yang parah akan dilakukan pergantian. Menciptakan iklim kerja yang sehat dilingkungan staf, agar inisiatif dan kreativitas staf mencuat kepermukaan. Yang terpenting saya harus menekan diri untuk tidak tampil sebagai penguasa tunggal.
Begitu juga untuk keluar dengan masyarakat. Misi pembangunan saya mustahil terlaksana tanpa bantuan dari masyarakat. Seluruh lapisan masyarakat harus merasakan rasa simpati dari saya kepada mereka. Secara pribadi tentu saya punya hak untuk tidak senang kepada seseorang, tetapi selaku Walikota saya tidak boleh bersikap demikian
“ngomong2, bagaimana sikap anda terhadap wartawan dan para aktivis?”
‘Dialog saya ko repot.. lagian saya jadi Walikota ini peran mereka sangat penting arti kata saya ini dibesarkanoleh meraka ke public sebelum masyarakat mengenal saya mereka yang lebih dulu saya kenal,
“bagaimana kalau mereka tyang senang mencari kesalaha anda”
‘iya sebelum mereka mencari kesalahan saya, saya sudah berdo’a dari awal. Saya akan mengadakan pendekatan, membuka pintu dialog, dengan cara seperti itu pun tidak ada titik temu, apa lagi mereka yang ada udang dibalik batunya. Dengan perasaan sedih terpaksa membawa ke jalur hokum. Saya sedih karena saya tidak tega menempatkan para Wartawan dan aktivis jadi musuh, ya apa boleh dikata, memang begitu jalan terahirnya.
“apa anda berani menempuh jalur hokum?
‘kenapa tidak, hanya Walikota yang punya setumpuk  Monyet di punggungnya yang takut ke pengadilan. Sebab yang dikhawatirkan adalah monyet-monyet yang lewat kantong safarinya.”
Setelah larut malam para aktivis itupun tertidur lelap ibarat kelompok pengacau yang sedang di cari serdadu negeri ini.
 (Rozak Daud Hobamatan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar