Sabtu, 19 November 2011

SURAT UNTUK BUPATI SUKABUMI


Menyikapi Masalah Pertambangan di Wilayah Kecamatan Cicantayan
Resume Hasil Advokasi Tim Forum Aktivis Sukabumi untuk Rakyat (Fraksi Rakyat) :

No      : 017 / FR / X /2011
Lamp  : 1 (satu) Berkas
Hal      : Mohon Keadilan Rakyat

             Yth,
Bupati Sukabumi
Di –
                        Palabuhanratu

           
Assalamu ‘alaikum warahmatulla wabarakatu

Ba’dah salam teriring Do’a kami sampaikan semoga segala aktivitas sebagai khalifah selalu mendapat bimbingan dari Allah SWT.

Dalam rangka menyikapi berbagai permasalahan Lingkungan di Kabupaten Sukabumi akibat dari dampak pertambangan yang tidak menjaga kelestarian Lingkungan Hidup sebagaimana amanat undang-undang, dan berdasarkan keluhan masyarakat yang merasa terganggu oleh aktivitas pertambangan PT Gunung Cantayan Perkasa (GCP)  yang berlokasi di Kecamatan Cicantayan, untuk menindaklanjuti keluhan masyarakat tersebut maka Tim Sekretariat Bersama Fraksi Rakyat melakukan Advokasi kelapangan dengan hasil temuan sebagaimana terlampir.
Dan Surat ini sudah kami kirim ke Kantor Bapak pada Tanggal 6 Oktober 2011, dan ditemduskan kepada (BLH,DISTAMBEN,Kantor BPPT, DPU, DISHUBKOMINFO) namun sampai saat ini belum ada tindak lanjut, karena masyarakat masih mengeluh dengan keberadaan aktivitas pertambangan PT GCP.
Demikian surat ini kami sampaikan, Atas perhatian dan dari pihak yang masih peduli terhadap kelestarian Lingkungan Hidup kami ucapkan terimakasih

 Billahi hayatuna Wallahi hayati mustad’afin.
Wassalamu ‘alakium warahmatullah wabarakatu

Sukabumi, 19 November 2011
Sekretariat Bersama Fraksi Rakyat
Juru Bicara





R o z a k  D a u d
 Lampiran
Menyikapi Masalah Pertambangan di Wilayah Kecamatan Cicantayan
Resume Hasil Advokasi Tim Forum Aktivis Sukabumi untuk Rakyat (Fraksi Rakyat) :


          Kerusakan lingkungan hidup akibat terjadinya ekspoitasi secara besar-besaran terhadap sumber daya alam di Indonesia, senantiasa menjadi masalah yang urgen untuk disikapi oleh komponen bangsa. Bahkan dalam Renstra yang di usulkan oleh Presiden RI pada saat pidato R-APBN 2012 di Gedung DPR RI, dikatakan bahwa salah satu isu pokok dari pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah isu “lingkungan hidup”. Berbagai instrumen hukum untuk menyelaraskan pembangunan, investasi dan daya dukung lingkungan hidup telah diatur oleh berbagai macam peraturan perundang-undangan. Contohnya, UU 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (PPLH), PP 27 Tahun 1999 tentang AMDAL, dan berbagai macam peraturan lainnya yang dimana Pemerintah telah mengatur secara ketat isu lingkungan hidup.
Namun fakta berbicara lain. Dampak investasi ekonomi telah banyak menyeret masyarakat pada ketidak pastian penegakkan hukum di bidang Lingkungan Hidup. Instrumen hukum yang telah dibuat ternyata tidak mampu berbuat banyak mengendalikan dampak investasi terhadap lingkungan hidup. Ini merupakan tugas yang harus dilaksanakan oleh bangsa Indonesia. Tugas ini sangat berat karena satu sama lain saling bersimbiosis melegitimasi dampak lingkungan hidup.
Baru-baru ini kami disuguhkan oleh sebuah fakta yang sangat menyayat hati. Fakta yang terjadi di Kabupaten Sukabumi khususnya Kecamatan Cantaian yang ditimpa musibah investasi di bidang pertambangan Non-Logam. Operasi produksi pasir kuarsa untuk supply bahan baku Semen ke PT. Holcim, Tbk yang dilakukan oleh PT. Gunung Cantayan Perkasa (GCP) telah membawa dampak negatif terhadap masyarakat sekitar. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh operasi perusahaan tambang ini sangat mengganggu masyarakat sekitar terutama beberapa dampak negatif yang telah kami kaji secara visual yaitu: 1. Mobilisasi kendaraan pengangkut material yang melebihi kapasitas muatan dan rotasi bongkar muat yang tinggi telah menyebabkan kerusakan jalan, peningkatan kadar bedu, kebisingan, dan berpotensi menyebabkan kecelakaan lalu lintas. 2. Teknik penambangan yang tidak sesuai dengan tata cara penambangan yang benar (good mining practices) berpotensi mengakibatkan meningkatkanya volume run off apabila hujan turun dan berpotensi mengakibatkan longsor akibat kelalaian pada teknik penambangan.
Kami Fraksi Rakyat memberikan gambaran informasi yang lebih detil diantaranya :                


Lokasi             : Daerah sekitar Tambangan PT Gunung Cantayan Perkasa
Waktu             : Tanggal 15 September – 01 Oktober 2011
Tempat            : Pos Ronda dan Rumah Warga

Pertama: Informasi yang dihimpun, bahwa tidak ada partisipasi masyarakat dilingkungan kawasan pertambangan, serta tidak ada kepastian mengenai pelibatan masyarakat dan jaminan keterwakilan masyarakat dalam setiap proses maupun tahapan-tahapan kegiatan penambangan. Karena Masyarakat harus memiliki hak yang sama dengan pengelola penambangan dan pihak lainnya. Masyarakat perlu memiliki hak dalam memberikan pertimbangan terhadap setiap proses kegiatan dan harus menghargai apapun keputusan masyarakat untuk menerima atau menolak keberadaan sebuah kegiatan penambangan.
Kedua: Hal informasi, masyarakat tidak mendapatkan hak dan akses atas informasi yang lengkap dan memadai baik dalam perencanaan, pelaksanaan dan dampak hingga monitoring dan evaluasi kegiatan penambangan. Informasi tidak tersampaikan dengan transparan kepada masyarakat.
Ketiga : Informasi dari warga sekitar lokasi pertambangan. Lebih banyak dibicarakan mengenai permasalahan yang dialami warga, lebih melihat permasalahan-permasalahan yang terjadi di lokasi tambang seperti dampak negatif pertambangan yang akan terjadi (karena tidak ada sosialisasi), kesehatan, pencemaran lingkungan, gangguan aktivitas lalu lintas.
Aspek Sosial, Ekonomi & Lingkungan Hidup (Persepsi Masyarakata)
1.    Masyarakat sekitar lokasi tambang tidak dilibatkan secara langsung dalam konsultasi publik AMDAL sesuai dengan Kepka Bapedal No. 299/1996 tentang Pedoman Teknis Kajian Sosial
2.    Masyarakat tidak mengetahui komponen dampak penting dari kegiatan penambangan
3.    Konflik Sosial (saling curiga antara kelompok masyarakat, masyarakat saling berebut jatah tanah merah “pra” untuk kepentingan home industry “pabrik bata”)
4.    Mekanisme koordinasi antara pihak terkait yaitu perusahaan, pemerintah & masyarakat tidak tertata secara baik (saling lempar tangungjawab)
5.    Ada upaya bersembunyi di balik kebutuhan masyarakat miskin untuk melegalkan berbagai cara demi pemenuhan kepentingan pihak tertentu.
6.    Muatan melebihi Tonase sehingga berakibat pada rawan kecelakaan, kerusakan jalan karena berdasarkan informasi bahwa ada kesepakatan antara perusahaan dengan pihak terkait mengenai penggunaan jalan Negara sebagai asset warga selama 6 (enam) Bulan setelah itu aktivitas perusahaan akan menggunakan jalan tambang milik perusahaan, mengingat jelang waktu akan berakhir maka pemerintah harus mengambil sikap yang tegas sehingga tidak mengganggu aktivitas masyarakat (sebagaimana surat warga masyarakat Kampung Cimenteng Desa Cimahai dan Desa Padaasih kepada PT Gunung Cantayan Perkasa) terlampir

Perhitungan hasil pengamatan :
Jumlah kendaraan : 13 mobil (Truk)
1 (satu) truk 5-6 paket atau 5-6 Ton
Masing-masing Truk muatan per hari rata-rata minimal 8 rit (8 x 13 = 104 rit) dan maksimal 13 rit (13x13 = 169 rit), maka setiap hari beban jalan bertambah karena melebihi tonase, rata-rata kekuatan jalan hanya menampung 3-4 Ton, sedangkan muatan per rit mencapai 5-6 Ton.
Kemudian, Tim Fraksi Rakyat dalam advokasinya mempertegas point-point yang seharusnya diketahui oleh publik.
Setelah melakukan konfirmasi kepada para pakar/praktisi di bidang lingkungan hidup yang  menginformasikan tentang Legal Drafting (Undang-Undang), terutama soal proses izin sebuah pertambangan yang tertuang dalam UU No. 04 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara, yang kaitannya dengan UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengolahan Lingkungan Hidup serta PP Nomor 27 Tahun 1999 Tentang AMDAL dan peraturan lainnya.
Meskipun tanpa diikuti pengakuan atas kelalaian dan pertanggungjawaban pihak perusahaan terhadap public, yang jelas kini masyarakat tidak mendapatkan keadilan, bahkan untuk hanya sekedar jawaban siapa yang bertanggungjawab atas derita yang akan dialami.
Forum Aktivis Sukabumi untuk Rakyat bersama berbagai organisasi masyarakat sipil dan individu yang peduli pada permasalahan ini mendesak:
  1. Pemerintah mempertegas pada Perusahaan Agar dana social perusahaan ‘Coorporate Social responsibility -CSR’ digunakan untuk pemberdayaan sebagai kompensasi warga-warga yang akan terkena dampak, baik yang terkena limbah maupun dampak pencemaran lingkungan
  2. Memberikan warga jaminan atas sarana air bersih untuk kegiatan mandi, cuci, kakus dan minum
  3. Perlu  dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai proses tercemarnya Lingkungan sejak Perusahaan beroperasi, dan hasil penelitian tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik demi terpenuhinya hak masyarakat atas informasi
  4. Pemerintah Kabupaten Sukabumi untuk menghentikan sementara  izin operasi produksi pertambangan sebelum syarat-syarat formal terpenuhi dan harus disosialisasikan kepada masyarakat terutama dokumen public seperti Dokumen AMDAL/UKL-UPL dan teknik penambangan serta melibatkan masyarakat pada setiap tahapan izin
  5. Peninjauan kembali terhadap pertambangan PT GCP dengan membentuk Tim Verifikasi yang melibatkan para pihak. Karena terindikasi banyak persyaratan yang diabaikan. Dari hasil advokasi Tim Fraksi Rakyat mendapat informasi dari segala unek-unek karena itu menjadi tanggung jawab kita semua.
  6. Pemerintah untuk memperbaiki dengan segera kawasan yang telah rusak akibat aktifitas penambangan dan menidak tegas pelaku pengrusakan lingkunga, serta membentuk Tim Independen untuk melakukan investigasi Lingkungan Hidup
  7. Agar seluruh pertambangan di Kabupaten Sukabumi termasuk PT Gunung Cantayan Perkasa (PT. GCP) harus mengikuti prosedur dan tahapan dalam sebuah pertambangan, harus ada studi kelayakan, kesepakatan dengan warga sekitar. Bila tidak, perlu ada tindak yang jelas dari pihak yang berwewenang.
Karena pertambangan itu harus mensejahterakan rakyat dan tetap menjaga kelestarian lingkungan. Sudah saatnya rakyat menikmati sumber daya yang ada untuk kemakmuran rakyat bukan hanya untuk kepentingan segelintir elit penguasa atau pemilik modal.
     Sukabumi 19 Oktober 2011

FORUM AKTIVIS SUKABUMI
untuk RAKYAT
(FRAKSI-RAKYAT)





R O Z A K  D A U D

Juru Bicara

SURAT UNTUK BUPATI SUKABUMI


Menyikapi Masalah Pertambangan di Wilayah Kecamatan Cicantayan
Resume Hasil Advokasi Tim Forum Aktivis Sukabumi untuk Rakyat (Fraksi Rakyat) :

No      : 017 / FR / X /2011
Lamp  : 1 (satu) Berkas
Hal      : Mohon Keadilan Rakyat

             Yth,
Bupati Sukabumi
Di –
                        Palabuhanratu

           
Assalamu ‘alaikum warahmatulla wabarakatu

Ba’dah salam teriring Do’a kami sampaikan semoga segala aktivitas sebagai khalifah selalu mendapat bimbingan dari Allah SWT.

Dalam rangka menyikapi berbagai permasalahan Lingkungan di Kabupaten Sukabumi akibat dari dampak pertambangan yang tidak menjaga kelestarian Lingkungan Hidup sebagaimana amanat undang-undang, dan berdasarkan keluhan masyarakat yang merasa terganggu oleh aktivitas pertambangan PT Gunung Cantayan Perkasa (GCP)  yang berlokasi di Kecamatan Cicantayan, untuk menindaklanjuti keluhan masyarakat tersebut maka Tim Sekretariat Bersama Fraksi Rakyat melakukan Advokasi kelapangan dengan hasil temuan sebagaimana terlampir.
Dan Surat ini sudah kami kirim ke Kantor Bapak pada Tanggal 6 Oktober 2011, dan ditemduskan kepada (BLH,DISTAMBEN,Kantor BPPT, DPU, DISHUBKOMINFO) namun sampai saat ini belum ada tindak lanjut, karena masyarakat masih mengeluh dengan keberadaan aktivitas pertambangan PT GCP.
Demikian surat ini kami sampaikan, Atas perhatian dan dari pihak yang masih peduli terhadap kelestarian Lingkungan Hidup kami ucapkan terimakasih

 Billahi hayatuna Wallahi hayati mustad’afin.
Wassalamu ‘alakium warahmatullah wabarakatu

Sukabumi, 19 November 2011
Sekretariat Bersama Fraksi Rakyat
Juru Bicara





R o z a k  D a u d
 Lampiran
Menyikapi Masalah Pertambangan di Wilayah Kecamatan Cicantayan
Resume Hasil Advokasi Tim Forum Aktivis Sukabumi untuk Rakyat (Fraksi Rakyat) :


          Kerusakan lingkungan hidup akibat terjadinya ekspoitasi secara besar-besaran terhadap sumber daya alam di Indonesia, senantiasa menjadi masalah yang urgen untuk disikapi oleh komponen bangsa. Bahkan dalam Renstra yang di usulkan oleh Presiden RI pada saat pidato R-APBN 2012 di Gedung DPR RI, dikatakan bahwa salah satu isu pokok dari pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah isu “lingkungan hidup”. Berbagai instrumen hukum untuk menyelaraskan pembangunan, investasi dan daya dukung lingkungan hidup telah diatur oleh berbagai macam peraturan perundang-undangan. Contohnya, UU 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (PPLH), PP 27 Tahun 1999 tentang AMDAL, dan berbagai macam peraturan lainnya yang dimana Pemerintah telah mengatur secara ketat isu lingkungan hidup.
Namun fakta berbicara lain. Dampak investasi ekonomi telah banyak menyeret masyarakat pada ketidak pastian penegakkan hukum di bidang Lingkungan Hidup. Instrumen hukum yang telah dibuat ternyata tidak mampu berbuat banyak mengendalikan dampak investasi terhadap lingkungan hidup. Ini merupakan tugas yang harus dilaksanakan oleh bangsa Indonesia. Tugas ini sangat berat karena satu sama lain saling bersimbiosis melegitimasi dampak lingkungan hidup.
Baru-baru ini kami disuguhkan oleh sebuah fakta yang sangat menyayat hati. Fakta yang terjadi di Kabupaten Sukabumi khususnya Kecamatan Cantaian yang ditimpa musibah investasi di bidang pertambangan Non-Logam. Operasi produksi pasir kuarsa untuk supply bahan baku Semen ke PT. Holcim, Tbk yang dilakukan oleh PT. Gunung Cantayan Perkasa (GCP) telah membawa dampak negatif terhadap masyarakat sekitar. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh operasi perusahaan tambang ini sangat mengganggu masyarakat sekitar terutama beberapa dampak negatif yang telah kami kaji secara visual yaitu: 1. Mobilisasi kendaraan pengangkut material yang melebihi kapasitas muatan dan rotasi bongkar muat yang tinggi telah menyebabkan kerusakan jalan, peningkatan kadar bedu, kebisingan, dan berpotensi menyebabkan kecelakaan lalu lintas. 2. Teknik penambangan yang tidak sesuai dengan tata cara penambangan yang benar (good mining practices) berpotensi mengakibatkan meningkatkanya volume run off apabila hujan turun dan berpotensi mengakibatkan longsor akibat kelalaian pada teknik penambangan.
Kami Fraksi Rakyat memberikan gambaran informasi yang lebih detil diantaranya :                


Lokasi             : Daerah sekitar Tambangan PT Gunung Cantayan Perkasa
Waktu             : Tanggal 15 September – 01 Oktober 2011
Tempat            : Pos Ronda dan Rumah Warga

Pertama: Informasi yang dihimpun, bahwa tidak ada partisipasi masyarakat dilingkungan kawasan pertambangan, serta tidak ada kepastian mengenai pelibatan masyarakat dan jaminan keterwakilan masyarakat dalam setiap proses maupun tahapan-tahapan kegiatan penambangan. Karena Masyarakat harus memiliki hak yang sama dengan pengelola penambangan dan pihak lainnya. Masyarakat perlu memiliki hak dalam memberikan pertimbangan terhadap setiap proses kegiatan dan harus menghargai apapun keputusan masyarakat untuk menerima atau menolak keberadaan sebuah kegiatan penambangan.
Kedua: Hal informasi, masyarakat tidak mendapatkan hak dan akses atas informasi yang lengkap dan memadai baik dalam perencanaan, pelaksanaan dan dampak hingga monitoring dan evaluasi kegiatan penambangan. Informasi tidak tersampaikan dengan transparan kepada masyarakat.
Ketiga : Informasi dari warga sekitar lokasi pertambangan. Lebih banyak dibicarakan mengenai permasalahan yang dialami warga, lebih melihat permasalahan-permasalahan yang terjadi di lokasi tambang seperti dampak negatif pertambangan yang akan terjadi (karena tidak ada sosialisasi), kesehatan, pencemaran lingkungan, gangguan aktivitas lalu lintas.
Aspek Sosial, Ekonomi & Lingkungan Hidup (Persepsi Masyarakata)
1.    Masyarakat sekitar lokasi tambang tidak dilibatkan secara langsung dalam konsultasi publik AMDAL sesuai dengan Kepka Bapedal No. 299/1996 tentang Pedoman Teknis Kajian Sosial
2.    Masyarakat tidak mengetahui komponen dampak penting dari kegiatan penambangan
3.    Konflik Sosial (saling curiga antara kelompok masyarakat, masyarakat saling berebut jatah tanah merah “pra” untuk kepentingan home industry “pabrik bata”)
4.    Mekanisme koordinasi antara pihak terkait yaitu perusahaan, pemerintah & masyarakat tidak tertata secara baik (saling lempar tangungjawab)
5.    Ada upaya bersembunyi di balik kebutuhan masyarakat miskin untuk melegalkan berbagai cara demi pemenuhan kepentingan pihak tertentu.
6.    Muatan melebihi Tonase sehingga berakibat pada rawan kecelakaan, kerusakan jalan karena berdasarkan informasi bahwa ada kesepakatan antara perusahaan dengan pihak terkait mengenai penggunaan jalan Negara sebagai asset warga selama 6 (enam) Bulan setelah itu aktivitas perusahaan akan menggunakan jalan tambang milik perusahaan, mengingat jelang waktu akan berakhir maka pemerintah harus mengambil sikap yang tegas sehingga tidak mengganggu aktivitas masyarakat (sebagaimana surat warga masyarakat Kampung Cimenteng Desa Cimahai dan Desa Padaasih kepada PT Gunung Cantayan Perkasa) terlampir

Perhitungan hasil pengamatan :
Jumlah kendaraan : 13 mobil (Truk)
1 (satu) truk 5-6 paket atau 5-6 Ton
Masing-masing Truk muatan per hari rata-rata minimal 8 rit (8 x 13 = 104 rit) dan maksimal 13 rit (13x13 = 169 rit), maka setiap hari beban jalan bertambah karena melebihi tonase, rata-rata kekuatan jalan hanya menampung 3-4 Ton, sedangkan muatan per rit mencapai 5-6 Ton.
Kemudian, Tim Fraksi Rakyat dalam advokasinya mempertegas point-point yang seharusnya diketahui oleh publik.
Setelah melakukan konfirmasi kepada para pakar/praktisi di bidang lingkungan hidup yang  menginformasikan tentang Legal Drafting (Undang-Undang), terutama soal proses izin sebuah pertambangan yang tertuang dalam UU No. 04 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara, yang kaitannya dengan UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengolahan Lingkungan Hidup serta PP Nomor 27 Tahun 1999 Tentang AMDAL dan peraturan lainnya.
Meskipun tanpa diikuti pengakuan atas kelalaian dan pertanggungjawaban pihak perusahaan terhadap public, yang jelas kini masyarakat tidak mendapatkan keadilan, bahkan untuk hanya sekedar jawaban siapa yang bertanggungjawab atas derita yang akan dialami.
Forum Aktivis Sukabumi untuk Rakyat bersama berbagai organisasi masyarakat sipil dan individu yang peduli pada permasalahan ini mendesak:
  1. Pemerintah mempertegas pada Perusahaan Agar dana social perusahaan ‘Coorporate Social responsibility -CSR’ digunakan untuk pemberdayaan sebagai kompensasi warga-warga yang akan terkena dampak, baik yang terkena limbah maupun dampak pencemaran lingkungan
  2. Memberikan warga jaminan atas sarana air bersih untuk kegiatan mandi, cuci, kakus dan minum
  3. Perlu  dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai proses tercemarnya Lingkungan sejak Perusahaan beroperasi, dan hasil penelitian tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik demi terpenuhinya hak masyarakat atas informasi
  4. Pemerintah Kabupaten Sukabumi untuk menghentikan sementara  izin operasi produksi pertambangan sebelum syarat-syarat formal terpenuhi dan harus disosialisasikan kepada masyarakat terutama dokumen public seperti Dokumen AMDAL/UKL-UPL dan teknik penambangan serta melibatkan masyarakat pada setiap tahapan izin
  5. Peninjauan kembali terhadap pertambangan PT GCP dengan membentuk Tim Verifikasi yang melibatkan para pihak. Karena terindikasi banyak persyaratan yang diabaikan. Dari hasil advokasi Tim Fraksi Rakyat mendapat informasi dari segala unek-unek karena itu menjadi tanggung jawab kita semua.
  6. Pemerintah untuk memperbaiki dengan segera kawasan yang telah rusak akibat aktifitas penambangan dan menidak tegas pelaku pengrusakan lingkunga, serta membentuk Tim Independen untuk melakukan investigasi Lingkungan Hidup
  7. Agar seluruh pertambangan di Kabupaten Sukabumi termasuk PT Gunung Cantayan Perkasa (PT. GCP) harus mengikuti prosedur dan tahapan dalam sebuah pertambangan, harus ada studi kelayakan, kesepakatan dengan warga sekitar. Bila tidak, perlu ada tindak yang jelas dari pihak yang berwewenang.
Karena pertambangan itu harus mensejahterakan rakyat dan tetap menjaga kelestarian lingkungan. Sudah saatnya rakyat menikmati sumber daya yang ada untuk kemakmuran rakyat bukan hanya untuk kepentingan segelintir elit penguasa atau pemilik modal.
     Sukabumi 19 Oktober 2011

FORUM AKTIVIS SUKABUMI
untuk RAKYAT
(FRAKSI-RAKYAT)





R O Z A K  D A U D

Juru Bicara

Rabu, 17 Agustus 2011

Kewirausahaan Sosial

"Kapitalisme tidak dapat ditentang dengan slogan, ia harus ditentang dengan organisasi. Bangun organisasi itu adalah koperasi" (Mohammad Hatta).

Ketika Republik Indonesia berdiri, salah satu komitmen para bapak bangsa ini adalah bagaimana menggerakkan roda ekonomi rakyat. Indonesia Merdeka seluruhnya itu benar-benar terwujud jika ekonomi rakyat kuat. Itu dapat kiat lihat dari tulisan dan pemikiran-pemikiran Bung Hatta yang meletakkan ekonomi kerakyatan sebagai fondasi ekonomi Indonesia. Cita-cita menjadi bangsa merdeka melahirkan kesadaran untuk menjadi bangsa yang mandiri dan berjuang atas kesanggupan sendiri.
Diintroduksinya konsep pembangunan (1969) yang meletakkan akumulasi kapital sebagai determinan penting menyebabkan terputusnya diskursus ekonomi kerakyatan. Pemerintah orde baru kemudian mengeluarkan regulasi-regulasi yang menguntungkan (favoritisme) terhadap industrialisasi dan konglomerasi. Hutang luar negeri menjadi keniscayaan untuk mendorong roda perekonomian, akibat masih rendahnya tabungan domestik. Pengelolaan negara semakin jauh dari semangat keswadayaan dan kesanggupan berdiri di atas kaki sendiri.

Industrialisasi dan modernisasi selain menciptakan berbagai kemajuan, juga telah melahirkan proses marginalisasi. Buruh, petani dan nelayan menjadi profesi yang semakin terpinggirkan karena meskipun secara jumlah mereka mayoritas, dalam penciptaan nilai tambah sangat kecil jika dibandingkan sektor industri. Para ekonom meyakini terjadinya transformasi struktural, yakni ketika kontribusi sektor tradisional (agraris) semakin kecil dan digantikan oleh kontribusi sektor industri yang dari waktu ke waktu semakin besar. Kenyataannya transformasi itu bersifat semu. Menurunnya peran sektor agraris, disebabkan karena orang desa tidak memiliki alternatif lain  untuk bertahan hidup kecuali menjual lahan sempit mereka dan menjadi buruh di kota. Kelas buruh pun kondisinya tidak menguntungkan. Istilah cheap labor dan unskilled labor menyebabkan posisi mereka hanya dianggap sebagai sekrup dalam roda industrialisasi.  

Menyeruaknya kelompok masyarakat rentan yang termarginalisasi akibat kebijakan pembangunan yang tidak berpihak pada mereka, menjadi lahan subur tumbuhnya LSM dengan berbagai corak dan agenda mereka. Eldrege (1988) memilah-milah LSM dalam beberapa kategori yang bersifat ideologis : kesejahteraan, developmentalisme, advokasi, transformasi,dll. Dominasi negara orde baru yang begitu kuat menyebabkan sebagian LSM menganggap penting untuk mengambil jarak dan menolak berkolaborasi dengan agenda pemerintah / negara. Keberadaan LSM dianggap sebagai counter hegemoni terhadap posisi negara yang begitu kuat dan merasuki setiap lini kehidupan masyarakat (Mansour Fakih, 1996). Oleh karena itu sebagian LSM lebih senang menggunakan terminologi ORNOP (Organisasi Non Pemerintah), bukan sekedar terjemahan dari NGO, tetapi yang lebih penting untuk menjelaskan posisi yang berbeda dengan negara (pemerintah).

Sementara untuk sebagian LSM lain, persoalan ketidakadilan struktural tidak cukup hanya dengan melakukan tekanan-tekanan terhadap kekuasaan atau dengan menganggap negara sebagai musuh karena menjadi alat yang eksploitatif. Permasalahan struktural harus dijawab dengan pengorganisiran rakyat secara nyata, mendidik mereka dan memperkuat modal sosial mereka melalui kegiatan usaha bersama agar unit-unit ekonomi rakyat dapat tumbuh. Oleh karena itu membangun keswadayaan dan mata pencaharian rakyat yang berkelanjutan menjadi fokus yang penting.

Era reformasi dan demokratisasi, posisi LSM semakin  penting  untuk membangun kembali modal sosial masyarakat yang hancur akibat krisis multidimensi. Di sisi lain menciutnya peran pemerintah di sektor pelayanan publik berdampak pada turunnya kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu isu sektor publik (kesehatan, pendidikan, dll) kian marak menjadi program LSM. Diperkirakan ada lebih dari 13.500 LSM (Depdagri, 2002).
Maraknya peluang-peluang proyek yang dapat diperoleh LSM menjadi sebuah tantangan baru bagaimana LSM untuk menjaga karakter independensinya dan tidak terjebak dalam kepentingan untuk sekedar mendapatkan dana agar bisa survive. Oleh karena itu pertanyaan reflektif yang layak kita lontarkan ialah, seberapa besar kontribusi ribuan proyek yang telah dilakukan LSM bagi perubahan sosial di Indonesia.   

Pengalaman-pengalaman lain dapat kita temukan dari lapangan, seperti misalnya kelompok-kelompok swadaya masyarakat (KSM) para pedagang kecil yang dihadapkan dengan penggusuran atau tingginya uang sewa kios, maka kerja pendampingan tak bisa dilepaskan dari isu advokasi terhadap keberadaan mereka. Atau KSM perempuan yang sampai pada kesadaran advokasi terhadap peran perempuan sebagai tulang punggung ekonomi rumah tangga. Hal-hal tersebut tidak bisa dipilah-pilah mana yang advokasi, mana yang developmentalis atau kesejahteraan. Persoalan-persoalan tersebut muncul bersamaan di lapangan dan akhirnya  "inovasi" menjadi kata kunci terhadap kesemua itu.

Inovasi dan solusi yang unik merupakan gerakan roh, ketika kemiskinan dan ketidakberdayaan mendera kehidupan masyarakat. Cerita menarik ditulis oleh Prof. Prahallad (The Fortune at the Bottom of the Pyramid, 2004), mengenai Jaipur Foot. Di India terdapat 5,5 juta orang yang diamputasi dan angka itu bertambah tiap tahunnya sekitar 25 ribu orang. Mayoritas mereka adalah orang miskin dan tidak mampu membayar pelayanan medis. Ketika industri prosthesis (anggota tubuh buatan) begitu rumit dan mahal, Jaipur Food menemukan teknologi yang sesuai dengan gaya hidup orang miskin. Jika biaya sebuah kaki buatan di AS senilai US$ 8 ribu,  Sementara kaki buatan Jaipur Foot senilai US$ 30. Inovasi ini secara nyata mampu menolong orang miskin cacat untuk tetap produktif bekerja. Inovasi dan solusi yang unik  terhadap masalah kemiskinan juga kita temukan dalam kisah sukses Grameen Bank, di Bangladesh, SEWA Bank di India, atau berbagai inisiatif lokal yang dilakukan oleh kalangan LSM, seperti PEKERTI, Purbadanartha, Yayasan Mitra Usaha, dll.

Terminologi kewirausahaan sosial yang kian marak, sebenarnya bukan hal yang baru sama sekali. Tetapi menjadi menarik untuk mendiskusikannya karena sejarah bangsa ini yang berabad-abad didera struktur dan sistem sosial feodal, tidak memiliki watak kewirausahaan yang kuat. Di beberapa tempat, seperti di Jawa masih ada pandangan, orang berdagang atau buka usaha dianggap sebagai pekerjaan rendah. Tetapi ironisnya perilaku rent seeking (memburu rente) kian merajalela. Bagaimana dengan mudah menjadi kaya  dengan cara menghisap (memalak) jerih payah orang lain, perilaku yang terus direproduksi dari kalangan atas hingga bawah. Oleh karena itu pekerjaan sebagai produsen kian tidak diminati, inovasi tidak dihargai. Patut kita akui kewirausahaan bangsa kita kian merosot. Kian sulit untuk menyebut produk-produk yang dihasilkan bangsa sendiri. Kita hanya menjadi broker dan konsumen barang-barang produsen dari luar. Tahu dan tempe makanan sehari-hari rakyat jelata, demikian juga kecap. Ironisnya kedelainya diimpor dari Amerika Serikat. Apalagi jika berbicara barang-barang konsumen lainnya seperti sabun, pasta gigi, dll. Kesemuanya dihasilkan oleh perusahaan multinasional (MNC).

Kewirausahaan sosial menjadi menarik kita diskusikan, ketika kita dihadapkan pada angka kemiskinan yang melonjak drastis, menjadi 39,05 juta jiwa atau 17,5% jumlah penduduk (versi BPS dengan biaya hidup Rp 152.847 per orang/bulan). Sementara itu versi Bank Dunia (dengan ukuran US$2 per orang/hari) menyebut angka kemiskinan di Indonesia mencapai 110 juta jiwa atau 53% penduduk. Di sisi lain, tidak adanya daya tarik investasi, industri di Indonesia tengah memasuki usia senja (sunset industry). Kesempatan kerja kian menyempit dan melonjaknya pengangguran terbuka sebesar 11,89 juta jiwa (10,80% dari jumlah angkatan kerja). 

Untuk menjawabnya dibutuhkan banyak terobosan, dibutuhkan upaya-upaya untuk memadukan berbagai inisiatif. Oleh karena itu persoalan kita bukan bagaimana menyusun definisi ataupun kategori kewirausahaan sosial, namun lebih pada bagaimana menemukan spirit daripadanya. Bagaimana agar kinerja wirausaha itu semakin memiliki dampak sosial yang besar. Karena baik Muh. Yunus maupun tokoh-tokoh wirausaha sosial tak kan mengingkari, bahwa kesuksesan mereka lahir dari pergumulan yang demikian intens dengan kemiskinan.
   
Rasanya kita diingatkan kembali oleh kata-kata Bung Hatta,  bahwa hakekat ekonomi rakyat adalah pentingnya mendidik semangat cinta kepada rakyat atas dasar usaha bersama. Dengan demikian kerja-kerja keras yang dilakukan oleh rakyat adalah manifestasi kemartabatannya sebagai manusia.