Rabu, 27 April 2011

Berperan dalam Sandiwara berjudul "Pemilukada" Hak untuk Tidak memilih

Masih lama bagi masyarakat, namun sebuah waktu sangat sebentar bagi para Politisi. di Kota Sukabumi Jawa Barat akan diadakan perhelatan sandiwara Politik untuk menggibur Rakyat 5 tahun kedepan, kenapa masih lama?? bagi masyarakt yang tiap hari berfikir bagaimana bsa makan adalah sebuah jedah waktu yang sangat lama untuk bertemu dengan Tahun 2013. namun bagi para elit politik menuju 2013 adalah waktu yang sangat sebentar. lewat sandiwara bernama "pemilukada". Terserahlah, meski sebagian orang berfikir acara itu gak signifikan. Gak merubah apapun selain, daftar nama tertentu. Terus terang saya pribadi termasuk yang berfikir seperti itu. Hahaha. Media Lokal di Sukabumi mulai rame dengan hiruk pikuk persaaingan untuk Menuju Balaikota Sukabumi 2013, tidak tanggung-tanggung yang berkuasa sedang enyiapkan kuda-kuda, untuk meneruskan dan ada juga sedang benyiapkan putra mahkota untuk menggantikan posisi di singgah sana Rumah Dinas. terserahlah...hehee

Tapi bagaimanapun, pemilukada adalah 'simbol' dari penentuan kota Sukabumi selama  lima tahun ke depan itu. Mungkin ya, tinggal sebatas simbol saja...Tapi masyarakat kita masih hidup dengan simbol-simbol yang kental. Tak soal, karena itu mungkin budaya kita,apalagi di pentas sandiwara politik, simbol-simbol seringkali lebih produktif, hehehe.

Bagi yang sudah memutuskan pilihannya, saya ucapkan Selamat. Postingan ini mungkin lebih ditujukan buat para sahabat yang berada pada posisi berbeda. Tentu, pilihan untuk tidak memilih, adalah sebuah pilihan juga. Hanya saja, mungkin bisa dipertimbangkan untuk tetap "berperan" pada sandiwara berjudul pemilu ini. Jika pun kita tidak terlalu menyukai peranan ini, untuk tetap menemukan ke 'ada' an kita (maksudnya bahwa kita "ada') di antara masyarakat, kenapa tidak untuk sekedar 'berperan".

Tokh, manusia tidak pernah lepas dari dua dunia itu, "pentas" sandiwara, di mana ia hidup bermasyarakat, dan "belakang-pentas" sandiwara, di mana ia hidup sebagai dirinya sendiri. Di "pentas", setiap manusia akan berperan, ia bertindak berdasarkan alur, tema, dan latar yang disediakan kehidupan bermasyarakatnya, berupa norma dan nilai mungkin. Tapi di "belakang-pentas", ia boleh hidup dengan caranya sendiri. Satu-satunya penonton, mungkin istri atau suami dan jika harus dihitung, dua dengan Tuhan.

Nah, pemilu mungkin bisa menghadirkan keduanya di satu waktu. Di hadapan semua mata yang hadir di TPU, kita adalah 'pemeran' sandiwara di atas pentas, tapi dalam "bilik-suara", kita bisa menjadi diri sendiri, atau berperan pada wilayah "belakang-pentas".Yah, meski hanya untuk sekedar datang, menghitamkan satu jari (hahaha, ini lebih lucu lagi), masuk ke sebuah kamar bernama "bilik suara", dan memberikan suara yang "tidak perlu". Mungkin dengan cara ini, "ketidak-percayaan" itu lebih aktual dan "ekpresif".

Jika menggunakan hak pilih adalah hak, tidak menggunakannya adalah hak juga tentunya. Dan menggunakannya dengan cara kita, tentu juga "hak".Begitupun, untuk tetap di rumah saja, dan mengekspresikan "ketidak-percayaan" itu secara ektrim adalah hak juga. Postingan ini, hanya sebuah tawaran...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar