Minggu, 09 Januari 2011

Tentukan Keberpihakan mu..



 
MAHASISWA, meskipun jumlahnya hanya 2% dari populasi penduduk Indonesia, namun harus diakui, sepak terjangnya telah melahirkan segala perubahan yang baik maupun buruk di negeri ini. Perannya telah membongkar fase pemerintahan fasis orde baru – membuka ruang demokrasi, namun juga, karena fragmentasi dalam tubuh gerakan serta kelemahan dalam hal konsepsi ideologis yang kemudian berimbas pada kegagalannya dalam mengambil pucuk kekuasaan, gerakannya pun berhasil dibajak oleh kekuatan lama dan sejumlah borjuasi nasional (reformis gadungan) yang diuntungkan dari sejarah dan sekaligus mendudukan mereka (kekuatan lama dan reformis gadungan) di puncak kekuasaan, mewarisi tradisi lama fasis orde baru sebagai komprador setia kepentingan modal dalam negeri. Mahasiswa dan sejarahnya, terlepas dari kelemahan-kelamahannya terutama dalam gerakan 98’, perannya telah melegitimasi citranya di hadapan jutaan rakyat Indonesia – sebagai pelopor pembebasan nasional (sebagian menyebutnya “agen perubahan”).

Penghancuran Tenaga Produktif di Tengah Hegemoni Nilai Kepentingan Modal; Lembaga Pendidikan Menjadi Lahan Paling Subur

Mahasiswa dan sepak terjangnya, tidak luput dari perkembangan ekonomi dan politik yang melingkupinya. Bercita-cita mewujudkan pembebasan nasional – memajukan bangsa dan Negara, mahasiswa justru semakin terperangkap dalam lingkungannya sendiri. Ingin menyelesaikan studi tepat waktu namun tidak mampu membebaskan dirinya sendiri termasuk mengangkat kondisi masyarakatnya sendiri. Jutaan sarjana telah tercetak setiap tahun. Namun hanya segelintir yang terserap dalam dunia kerja. Pengangguran intelektual tetap mempunyai porsi yang lebih besar setiap tahunnya dan jurang antara masyarakat miskin dan masyarakat kaya pun kian melebar. Industry nasional yang seharusnya bisa menampung sejumlah sarjana pun pada saat yang bersamaan telah dibangkrutkan satu persatu (baca : catatan ekonomi akhir tahun 2010; berdikari online).

Buasnya hegemoni nilai kepentingan modal yang masuk melalui sector pendidikan telah membuat sepak terjang mahasiswa menjadi ‘mati suri’. Hegemoni nilai yang syarat dengan kepentingan modal menjelma dalam kurikulum pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar (baca : pendidikan di bawah system pasar; Rudi Hartono). Tidak mengherankan, pendidikan yang seharusnya berwatak ilmiah dan membebaskan justru disimpangkan menjadi semacam formalitas (tahapan) semata dan bahkan dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai gelar sarjana. Dan mengharapkan pembukaan tes Pegawai Negeri Sipil menjadi pekerjaan rutin sarjana setiap tahun (memprihatinkan!). Sebagian bahkan telah menganggap kondisi ini sebagai sebagai kenyataan yang harus diterima tanpa menganalisa lebih jauh. Inilah kondisi yang dikehendaki oleh kepentingan modal untuk tetap melangsungkan system penghisapannya – menghancurkan tenaga produktif agar tidak berdaya dihadapan kepentingan modal. Terpaan nilai-nilai yang mengakomodir kepentingan modal telah memandulkan kehendak pembebasan nasional yang menghendaki penyediaan pendidikan termasuk kurikulum sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Pendidikan yang berdasarkan kebutuhan masyarakat merupakan antitesa terhadap model pendidikan di bawah system pasar saat ini.
(RDH)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar