Minggu, 07 November 2010

Kekerasan di Lingkungan Pendidikan


*Rozak Daud
Pendidikan adalah sebuah kata yang selama ini difahami dengan begitu sakral. Sebuah kata yang memiliki daya pentaskih bagi kebenaran dirinya.Dengan pendidikan diharapkan lahir manusia-manusia yang akan berguna bagi hidup dan kehidupan serta manusia dan kemanusiaan di muka bumi ini. Pendidikan menjadi ajang untuk memberi bekal kepada generasi muda kita agar memiliki persiapan dalam menempuh hidupnya kedepan secara lebih baik. Dan yang lebih penting dari itu semua, pendidikan diharapkan mampu memberi jatidiri seorang peserta didik.
Generasi muda yang menempuh pendidikan diharapkan memiliki kesadaran eksistensial untuk kehidupannya, karena dengan kesadaran semacam inilah maka kita bisa berharap kehidupan manusia dimasa yang akan datang lebih baik dari sekarang. Kesalahan atau kekeliruan konsep tentang esensi dan eksistensi kemanusiaaan akan berdampak pada cara peserta didik menjalani hidupnya sebagai proses bereksistensi.
Dengan gelaran-gelaran suci yang diberikan kepada pendidikan, ternyata bukanlah jaminan bahwa pendidikan yang dilakukan mampu memenuhi kebutuhan eksistensial dan kompleksitas rasa kepastian diri serta identitas manusia. Bahkan tanyapun akan bermunculan ketika dengan begitu tragis digambarkan di depan mata kita bagaimana para peserta didik (baik siswa maupun mahasiswa) melakukan tindakan yang “kurang pantas” untuk ukuran orang terdidik.
Berita tentang tawuran, perkelahian antar pelajar yang selama ini marak terjadi di Sukabumi mulai dari SMK dan SMP adalah realitas yang sangat memalukan dari wajah pendidikan hari ini. Berbagai macam terapi telah dilakukan untuk itu, melakukan berbagai macam aktivitas sebagai upaya pengalihan masalah, bahkan sampai tekanan akademik terhadap pelaku, ternyata tidak menghasilkan apa-apa. Bahkan upaya penyelesaian tersebut terkesan sangat tidak manusiawi, karena menempatkan pelaku sebagai satu-satunya pihak yang bertanggungjawab.
Padahal kalau diperhatikan lebih jauh, akan ditemukan bahwa ini masalah bersama, dan penyelesaiannya bukanlah tindakan instant semacam skors atau bahkan melakukan pen-dropt out-an terhadap pelaku. Mengapa masalah ini, tidak coba di elaborasi untuk menemukan akarnya, mengapa semua pihak hanya bisa saling menyalahkan dan saling menuding.
Sebenarnya kalau ditelusuri lebih jauh akan ditemukan bahwa titik krusial dari bangunan masalah ini adalah pada pendekatan model pendidikan yang ada pada hari ini, pendidikan lebih menekankan pada terbangunnya Need For Achievement pada peserta didik dan inilah yang mendorong peserta didik untuk saling  jegal, saling sikut demi sebuah pengakuan akan eksistensi dan jati diri. sebentuk mahluk yang berciri survivor.
Dengan menanamkan kepada peserta didik bahwa eksistensi, jatidiri dan identitas seorang manusia lebih ditentukan lewat apakah dia lebih unggul dari orang lain atau tidak, maka sebenarnya secara tidak langsung telah membangun kesadaran bahwa hidup ini adalah persaingan dan harus dimenangkan, karena hanya yang menanglah yang pantas diakui sebagai manusia yang memiliki identitas, jatidiri dan eksistensi.
Nah dalam melakukan persaingan untuk menemukan identitas, jati diri dan eksistensinya, maka manusia tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan, karena dengan itulah mereka merasa bahwa mereka benar-benar ada. Bahkan secara gamblang Hannah Arendt (dalam The Human Condition) mengatakan bahwa “Daya dan kekuatan manusia secara mendasar tampak dalam pengalaman kekerasan... Dari daya kekuatan itulah berasal rasa kepastian diri dan identitas”.
Pendidikan hari ini telah menempatkan rasa kepastian diri dan identitas pada posisi sebagaimana digambarkan Arendt tersebut. Sehingga tidak bisa kemudian kesalahan dengan terjadinya tawuran antar pelajar dengan serta merta dilemparkan kepada para pelaku tanpa melihat libido sosial yang mendorong terjadinya peristiwa tersebut.
Pendidikan dengan paradigma liberal yang mengedepankan terbangunnya Need For Achievement dalam diri peserta didik, bermain dalam kerangka kerja survival the fittest. Peserta didik didorong secara psikologis untuk mencintai hal-hal yang beraroma kematian, sebuah kondisi nekrofhili (meminjam bahasa E. Fromm). Hal ini karena kesadaran dan jati diri manusia menggantung antara ambang batas kehidupan dan kematian, dan memang sebagaimana disinyalir oleh Heidegger (dalam Sein und Zeit), “Kematian adalah kemungkinan yang paling sesungguhnya dari manusia”.
Dengan bangunan kesadaran eksistensial seperti itu, maka orang-orang pengidap nekrofhili akan memilih untuk melakukan kekerasan, bahkan kalau perlu, akan berujung pada proses membunuh atau terbunuh. Jadi keperiadaan (survive) seseorang sebagai manusia ditentukan pada keberhasilannya mengalahkan orang lain bahkan membunuhnya, juga ditentukan apakah orang itu memiliki truth claim (klaim kebenaran) dan salvation claim (klaim keselamatan) yang lebih unggul dibanding orang lain.
Dengan begitu sarkastis, Elias Canetti (dalam Masse und Macht) menggambarkan kondisi ini, “Momen survival adalah momen kekuasaan... Bentuk paling rendah dari survival adalah membunuh... Momen konfrontasi dengan dia yang dibunuh memenuhi seorang survivor dengan semacam kekuatan yang khas yang tidak dapat disamakan dengan kekuatan-kekuatan lainnya”. Sungguh sebuah situasi yang begitu mengerikan dan menakutkan.
Pendidikan yang seperti ini akan melahirkan Man of Abuse, sebuah bangunan kemanusiaan yang menempatkan –Thomas Hobbes dalam Leviathan— setiap orang sebagai pelaku potensial sekaligus korban potensial dari sebuah kekerasan. Betul-betul kondisi Homo Homini Lupus.
Kondisi tawuran pelajar yang sudah marak di Sukabumi  tidak seharusnya berlarut-larut seperti ini, perlu ada upaya penyelamatan terhadap keberlangsungan kemanusiaan. Transformasi pehamanan terhadap rasa kepastian diri dan identitas manusia seharusnya digeser dari posisi sebelumnya yang menuntut agar terjadinya peniadaan terhadap “the other” kearah bangunan identitas dan kepastian diri pada sebuah hubungan harmonis antara seorang manusia dengan manusia lain, sebuah bangunan kemanusiaan –meminjam istilah Benny Susetyo-- yang bersifat ko-eksistensi bahkan pro-eksistensi.
Bangunan kemanusiaan ko-eksistensi maksudnya bahwa jatidiri dan identitas ditemukan dalam relasi harmonis antara seorang individu dengan individu lain dalam sebuah hubungan yang saling menguntungkan, sedangkan pro-eksistensi dimaksudkan bahwa jatidiri dan identitas kemanusiaan ditemukan dalam peran sosial seorang manusia, sejauhmana dia mampu memberikan jatidiri dan identitas kemanusiaan pada orang lain.
Untuk mewujudkan bangunan kemanusiaan yang berifat ko-eksistensi dan pro-eksistensi itu, maka cara pandang kedirian harus mengalami pergeseran –sebagaimana diusulkan Cyprianus Johan Palu Dale-- dari “keberpusatan pada diri sendiri (self centeredness)” mengarah kepada “keberpusatan pada yang Nyata (reality centredness)”. Dengan demikian diri tidak menjadi standar utama dalam menentukan nilai kebenaran sesuatu, melainkan sejauhmana sesuatu itu berdampak positif pada semua orang.
Pendidikan seharusnya menanamkan kesadaran bahwa jati diri dan identitas tidak terdapat pada saat seseorang berhasil mengalahkan orang lain, melainkan pada saat seseorang itu mengakui keberadaan jati diri dan identitas orang lain. Sungguh indah bahasa Martin Luther King Jr. melukiskan kondisi seperti ini, “seorang manusia baru hidup sungguh-sungguh kalau dia bisa menjulang keatas batas-batas yang sempit kepentingannya sendiri dan mengabdikan diri kepada kepentingan umum seluruh umat manusia”. Sebuah keperiadaan pro-eksistensi.
Namun yang paling penting dan sangat mendesak untuk dilakukan saat ini adalah “lakukan”, sebuah upaya menemukan titik pusat diri dengan dengan sebuah gerakan untuk mengakhiri kekerasan pelajar Sukabumi ini.
Hampir sebagian besar perubahan kehidupan anak-anak remaja disebabkan oleh kekecewaan yang dialaminya.
Jadi bukan karena ia cerdas atau tidak cerdas
Kekecewaan sosial remaja :
    akibat konflik dengan teman sebaya
    akibat konflik dengan guru sekolah
   akibat konflik dengan orang  tua mereka
   akibat ketidakpuasan peserta didik sebagai orang dewasa yang diperlakukan sebagai anak kecil selalu dijadikan objek pendidikan, menerima apa yang disampaikn oleh guru dan apa yang tertulis dalam buku.
Itu berarti bahwa :
Ada Apa Dengan Orang Dewasa ?
Beberapa pelanggaran orang dewasa menurut anak remaja :
1:  Orang dewasa selalu ingin menguasai anak remaja.
2 :  Orang dewasa selalu menganggap anak remaja sebagai anak yang masih kecil.
3 :  Orang dewasa lebih senang mencela/mengkritik dari pada mensupport pada anak remaja.
4 :Orang dewasa sering menarik kembali hak yang telah diberikan kepada anak remaja.
5 :  Orang dewasa lebih cepat emosi, dan mau menang sendiri ketika berdiskusi dengan anak remaja.
6 : Masih banyak lagi, dan tidak terhitung jumlahnya.
   Apa yang bisa dilakukan untuk memperbaikinya ?  
1. Harus adanya pendidikan bagi mereka yang menekankan pada Pendidikan Watak & Kepribadiannya.
2. Harus adanya usaha yang besar dari orang tua / orang dewasa untuk Menanamkan Moralitas & Keyakinan Beragama pada anaknya.
3. Harus didorong & dibina tumbuhnya Tanggung Jawab Sosial pada anak, sesuai dengan Fase Perkembangannya.
Kemudian harus bagaimana tahapan-tahapannya ?
Selidiki….
Amati….
&  Pikirkanlah
Yang telah dilakukan oleh pihak sekola diantaranya adalah;
  1. Di sekolah telah dibentuk tim-tim olahraga dan seni maupun kegiatan ekstrakurikuler yang lain. Beberapa bidang yang dapat digunakan untuk penyaluran bakat/minat itu misalnya pramuka, karang taruna, cinta alam, dan PMR. (kegiatan seperti ini adalah hal yang sangat normatif karena hanya menghilangkan kejenuhan didalam kelas karena tidak bisa mengespresikan kebebasan jiwa seorang, bahkan kadang-kadang kesiatan ekstrakurikuler di sekolah adalah sebagai bentuk kekerasan identitas terhadap generasi muda,- Dancer,Chileder dll)
  2. Pihak pemerintah  telah membentuk ikatan atau persatuan pengurus OSIS. Dari banyak pengurus OSIS di sekolah itu kemudian dibentuk sebuah ikatan kepengurusan pada tingkat kota. Tugasnya agar saling menciptakan iklim ketentraman bersama, menjalin kerukunan antarsekolah sekaligus menjadi penengah bila terjadi perkelahian antarsekolah.{uapaya ini perlu dikritisi juga, karena selama ini siswa (OSIS) hanya sebagai objek/boneka dari program ini, para OSIS tidak pernah diberikan kemandirian dalam berekpresi kemampun intelektualnya. adapun yang terjadi hanya sebuah bentuk monopoli secara sistematis karena semua kegiatan yang dilakukan 100% campur tangan pemerintah dan guru dalam konsep, kalau dilihat dari mazhab kritis adalah hanya sebuah cara pemerintah untuk kebebasan intelektual manusia, bahkan sebagai proyek anggaran, peserta didik tidak pernah diperkenalkan dengan aktivitas sosial eksternal, ketika ada organisasi yang mau melakukan kegiatan disekolah/mengundang siswanya akan selalu dicurigai dan dipersulit. karena pada umumnya pemerintah melalui sekolah takut apabila siswanya menjadi kritis. bahkan mereka menganggap mereka sudah mampu mendidik, karena sistem kita mengatur keberhasilan pendidikan adalah diukur dari angkah dan bisa mendapat pekerjaan tanpa melihat psikomotorik siswa}
  3. Dan yang perlu dikritisi adalah proses belajar kita selama ini yang hanya menjadikan siswa sebagai objek pendidikan, merasa apa yang disampaikan oleh guru adalah benar, guru menyampaikan siswa mendengat, guru membaca siswa menulis.(Ini adalah proses pembelengguan dan pembodohan di sistem pendidikan kita)
  4. Mengadakan kegiatan secara terpadu dalam rangka memperingati hari-hari besar, misalnya hari bebas rokok dan diadakan dialog antar pelajar yang mewakili tiap-tiap sekolah.
7.
            Namun semua yang telah dilakukan oleh pemerintah melalui sekolah tersebut diatas apabila ditinjau dari Mazhab kritis, maka cara-cara seperti ini harus digugat kembali karena proses tersebut adalah upaya pembodohan kepada peserta didik sehingga pada akhirnya peserta diddik mencari jalan alternatif yang tidak terarah untuk mengespresikan jiwanya.artinya harus Menggunakan paradigma dan teknik belajar yang dapat dinikmati subjek didik dan tidak menimbulkan amarah, frustrasi, dll. Contoh: Problem based learning, student centered leraning, quantum learning.

Ada pandangan yang kuat dikalangan para pendidik radikal, bahwa pendidikan ataupun penyelenggaraan proses belajar-mengajar, diantaranya dalam bentuk pelatihan, pada dasarnya tidak pernah terbebas dari kepentingan politik, bahkan tidak bisa terbebas demi melanggengkan sitem sosial ekonomi maupun kekuasaan yang ada.  Pandangan ini berangkat dari asumsi bahwa pendidikan bagi aparatus dominasi selalu digunakan untuk melanggengkan, melegitimasi dominasi mereka. Maka hakekat pendidikan tidak kurang, tidak lebih sebagai sarana untuk mereproduksi sistem dan struktur sosial yang tidak adil seperti sistem relasi kelas, relasi gender, rasisme ataupun sistem relasi lainya. Pandangan semacam itu dikenal dengan teori "reproduksi" dalam pendidikan. Sebaliknya, ada pandangan yang justru berangkat dari asumsi dan keyakinan bahwa pendidikan adalah proses “produksi” kesadaran kritis, seperti menumbuhkan kesadaran kelas, kesadaran gender maupun kesadaran kritis lainnya. Oleh karena itu, pendidikan bagi kelompok kedua ini lebih melihat/ mengasumsikan bahwa manusia berada dalam sistem dan struktur yang mengakibatkan proses dehumanisasi, maka proses belajar merupakan upaya pembebasan manusia, karena eksploitasi kelas, dominasi gender maupun hegemoni dan dominasi budaya lainnya. Oleh karena itu pendidikan merupakan suatu sarana untuk “memproduksi” kesadaran untuk mengembalikan kemanusiaan manusia, dan dalam kaitan ini, pendidikan berperan untuk membangkitkan kesadaran kritis sebagai prasarat upaya untuk pembebasan. 
Bagaimana proses pembebasan dan proses belajar untuk membangkitkan kesadaran kritis dan pembebasan dilakukan? Banyak pendidik dalam menjawab pertanyaan ini umumnya lebih konsentrasi pada metode ketika proses  belajar diselenggarakan. Namun sesungguhnya, pendidikan tidak pernah berdiri bebas tanpa berkaitan secara dialektis dengan lingkungan dan sistim sosial dimana pendidikan diselenggarakan.  Proses pendidikan sebagai proses pembebasan tidak pernah terlepas dari sistem dan struktur sosial, yakni konteks sosial yang menjadi penyebab atau yang menyumbangkan proses dehumanisasi dan keterasingan pada waktu pendidikan itu diselenggarakan. 
Apalagi dalam era Globalisasi Kapitalisme seperti saat ini, pendidikan dihadapkan pada tantangan bagaimana mengkaitkan konteks dan analisis isinya untuk memahami globalisasi secara kritis. Strategi umumnya para pendidik lebih tertuju untuk bagaimana membuat proses belajar mereka relevan terhadap formasi sosial yang dominan saat ini, yakni globalisasi kapitalisme dan menguatnya Neoliberalisme. Strategi seperti ini lebih berkesan menerima dan mensiasati dan justru sering menjebak untuk penyesuaian terhadap globalisasi.   Sementara itu jarang proses belajar yang mengintegrasikan analisis globalisasi dan bagaimana mereka berperan dengan proses kritik dan melakukan dekonstruksi, untuk menemukan solusi alternatif terhadap globalisasi, seperti misalnya menciptakan diskursus tandingan terhadap diskursus globalisasi yang dominan dengan perspektif alternatif.
Untuk mendorong proses belajar menjadi peka (sensitif) terhadap persoalan ketidakadilan sosial yang terkait dengan globalisasi, maka dalam penyelenggaraan proses belajar secara otonom penting untuk menentukan visi dan misi sesuai perkembangan formasi sosial, bagaimana memperjelas keberpihakan terhadap proses ketidakadilan sosial, serta bagaimana menerjemahkan kesemua itu untuk diterapkan dalam metodologi penyelengaraan proses belajar.  Metode dan teknik “hadap masalah” menjadi salah satu kegiatan yang strategis untuk merespon sistem dan diskursus yang dominan.
Persoalannya, dalam penyelenggaraan proses belajar selalu ditemukan kelemahan sekaligus kekuatannya, yang seringkali menjadi arena tidak terkontrol dan tidak termonitor. Sehingga diperlukan mekanisme yang memungkinkan peserta proses belajar sebagai subjek dan pusat kegiatan penyelenggaraan proses belajar dan konstituensi utama proses belajar memungkinkan memiliki peran kontrol dan monitor untuk mewujudkan proses belajar yang membebaskan. Maka orientasi setiap peserta belajar untuk menghayati visi dan misi mereka, serta kesadaran kritis peserta sangat diperlukan jika  akan meletakkan peserta belajar sebagai subyek dan pemonitor proses dan metode untuk transformasi sosial .     
Oleh sebab itu pemahaman paradigma pendidikan memainkan peran penting dalam menentukan metode penyelenggaraan proses belajar dan dimana letak posisi peserta didalamnya. Secara lebih khusus pendidik bersama peserta didik harus mampu membuat jembatan bersama antara berbagai ideologi dibalik metode penyelenggaraan proses belajar  dan, atau paradigma pendidikan yang diperankan dalam penyelenggaraan proses belajar.
Dalam perspektif kritis, tugas pendidikan adalah melakukan refleksi kritis, terhadap sistem dan ‘ ideologi yang dominan’  yang tengah berlaku dimasyarakat, serta menantang sistem tersebut untuk memikirkan sistem alternatif kearah transformasi sosial menuju suatu masyarakat yang adil. Tugas ini dimanifestasikan dalam bentuk kemampuan menciptakan ruang agar muncul sikap kritis terhadap sistem dan sruktur ketidakadilan sosial, serta melakukan dekonstruksi terhadap diskursus yang dominan dan tidak adil menuju sistem sosial yang lebih adil.  Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa netral, obyektif maupun “detachment” dari kondisi masyarakat.
Visi kritis pendidikan terhadap sistem yang dominan sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk mencipta sistem sosial baru dan lebih adil, selalu menjadi agenda pendidikan. Dalam perspektif kritis, pendidikan harus mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis untuk transformasi sosial. Dengan kata lain tugas utama pendidikan adalah ‘memanusiakan’ kembali manusia yang mengalami “dehumanisasi” karena sistem dan struktur yang tidak adil. Paham pendidikan kritis ini cocok dengan paradigma transformatif.  Penyelenggaraan proses belajar mengajar dalam perpektif ini juga menjadi arena kritik ideologi.  Proses belajar dalam bentuk pelatihan bagi petani misalnya, para petani saat ini sering diarahkan hanya untuk memenuhi ambisi produktivitas dan efisiensi sebagai implikasi dari pendukung pertanian dari pandangan dominan Revolusi Hijau dan rekayasa genetika, namun jarang difasilitasi untuk mempertanyakan relasi kekuasaan dan bencana bagi para petani dari suatu teknologi pertanian. Dalam kontek itulah pilihan paradigma pendidikan dan proses belajar memainkan peran strategis untuk proses perubahan dan transformasi sosial.
Bagi penganut mazhab Freirean, hakekat pendidikan ataupun pelatihan adalah demi membangkitkan kesadaran kritis.  Perlu diingatkan bahwa Freire (1970) membagi ideologi pendidikan dalam tiga kerangka yang didasarkan pada kesadaran idologi masyarakat.  Tema pokok gagasan Freire pada dasarnya mengacu pada suatu landasan bahwa pendidikan adalah “proses memanusiakan manusia kembali”. Gagasan ini berangkat dari suatu analisis bahwa sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya, membuat masyarakat mengalami proses “demumanisasi”. Pendidikan sebagai bagian dari sistem masyarakat justru menjadi pelanggeng proses dehumanisasi tersebut. Secara lebih rinci Freire menjelaskan proses dehumanisasi tersebut dengan menganalisis entang kesadaran atau pandangan hidup masyarakat terhadap diri mereka sendiri. Freire menggolongan kesadaran manusia menjadi: kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naif (naival consciousness) dan kesadaran kritis (critical consciousness).
Kuatnya pengaruh positivisme pada banyak pendidik saat ini, juga berpengaruh terhadap praktek pendidikan, pelatihan, dan proses belajar lainnya terhadap masyarakat yang justru bertolak belakang dengan semangat pembebasan dan transformasi sosial. Metode yang dikembangkan banyak pendidikan dan pelatihan dimasyarakat mewarisi pikiran positivisme seperti obyektivitas, empiris, tidak memihak pada peserta, berjarak dengan obyek belajar (detachment), rasional dan bebas nilai, sehingga sangat banyak pendidik yang sesungguhnya justru berperan menjadi penghambat proses pembebasan dan ikut  berperan pula menumpas benih-benih watak  emansipatoris pada setiap proses  pendidikan dan pelatihan.  Penyelenggaraan pendidikan  dalam perspektif positivistik merupakan proses fabrikasi dan mekanisasi pendidikan untuk memproduksi keluaran pendidikan  yang harus sesuai dengan ‘pasar kerja’. Proses belajar yang diselenggarakan juga tidak toleran terhadap segala bentuk ‘non positivistic ways of knowing’ yang disebut sebagai tidak ilmiah. Pendidikan menjadi a-historis, yakni mengelaborasi model masyarakat dengan mengisolasi banyak variabel dalam model tersebut.  Peserta dididik untuk tunduk pada struktur yang ada mencari cara-cara dimana peran, norma, dan nilai-nilai yang dapat diintegrasikan dalam rangka melanggengkan sistem tersebut. Asumsi yang mendasari pendidikan itu adalah bahwa tidak ada masalah dalam sistem yang ada, masalahnya terletak pada sikap mental, pengetahuan dan ketrampilan peserta  belaka, termasuk kreativitas, motivasi, keahlian teknis peserta. Oleh karena itu dalam perspektif positivisme, pendidikan dan pelatihan  lebih dimaksud untuk mengembangkan  kecerdasan, ketrampilan dan keahlian  peserta pelatihan belaka, sementara komitment, keyakinan dan kepercayaan terhadap sistem yang lebih adil dan motivasi untuk  menantang terhadap struktur sosial yang ada tidak dilakukan, namun lebih sibuk memfokuskan pada bagaimana membuat sistem yang ada bekerja.
Untuk meletakkan proses belajar dalam peran transformasi sosial, pertama perlu melakukan analisis struktural tentang lokasi pemihakan pada penyelenggaraan proses belajar terlebih dahulu. Tanpa visi dan pemihakan yang jelas terhadap siapa, pendidikan sulit diharapkan menjadi institusi kritis untuk pembebasan dan perubahan sosial. Pendidikan juga perlu melakukan identifikasi issue issue strategis dan menetapkan visi dan mandat mereka sebagai pendidikan untuk pemberdayaan. Tanpa pemihakan, visi, analisis dan mandat yang jelas, pendidikan tanpa disadari telah menjadi bagian dari “status quo” dan ikut melanggengkan ketidak adilan. Bahkan tanpa pemihakan yang jelas, pendidikan hanyalah menjadi alat penjinakan atau alat  hegemoni dari sistem dan ideologi kelompok dominan.   Kesemuanya pendirian  pendidikan ini juga berimplikasi terhadap metodologi dan pendekatan dan proses belajar mengajar dalam suatu proses pendidikan.
Pendidikan yang memanusiakan Pendidik dan Peserta didik. 
Peranan pendidik sangat strategis secara positif maupun negatif dalam setiap proses belajar.  Untuk itu, usaha untuk membebaskan pendidik dari proses dehumanisasi juga mendapat perhatian. Inti dari pembebasan pendidik adalah justru dengan mentransformasikan hubungan pendidik-peserta dari hubungan dan persepektif yang mendominasi menjadi hubungan yang membebaskan. 
Pendirian yang dianut oleh para pendidik yang transformatif tidak hanya ingin membebaskan dan mentransformasikan pendidikan dengan struktur diluarnya, tapi juga bercita cita mentransformasi  relasi “knowledge power” dan dominasi hubungan yang ‘mendidik dan ‘yang dididik.
Sungguhpun banyak orang pesimis untuk menjadikan pendidikan dan pelatihan menjadi organ independen untuk kesadaran kritis dan pembebasan, namun para pendidik harus senantiasa optimis mengembalikan fungsi pendidikan sebagai proses transformasi sosial. Apalagi saat ini, dalam setiap proses pendidikan dan pelatihan selalu dihadapkan pada pilihan antara menyesuaikan diri dan mereproduksi sistim yang ada, atau memerankan peran kritis terhadap sistem yang ada. Jika proses belajar lebih dimaksudkan untuk menyiapkan ‘sumber daya manusia’ untuk mereproduksi sistem yang tidak adil, tanpa menggugatnya, maka proses belajar yang diselenggarakan tersebut adalah bagian dari masalah. Karena dengan posisi seperti itu pada dasarnya proses belajar tersebut justru ikut melanggengkan ketidak adilan masyarakat. Dengan kata lain penyelenggaraan pendidikan telah gagal memerankan visi utama pendidikan sebagai ‘pemanusiaan manusia’ untuk menjadi subyek transformasi sosial. Transformasi yang dimaksud adalah suatu proses penciptaan hubungan (relationships) yang secara fundamental baru dan lebih baik.
Usaha yang perlu terus dilakukan sebelum melakukan transformasi sosial adalah mentransformasi diri sendiri yakni membongkar struktur tidak adil dan relasi yang tidak demokratis didalam dunia pendidikan lebih dahulu. Ini berarti menggugat watak otoriter dan feodalisme dalam setiap penyelenggaraan pendidikan.  Dengan demikian diperlukan suatu usaha kolaborasi antara pendidik dan peserta belajar untuk secara bersama-sama melakukan transformasi relasi mereka menjadi lebih egaliter dan demokratis, sehingga justru menciptakan proses belajar yang otonom dan partisipatori dalam pengembangan kurikulum, dan menciptakan ruang bagi proses belajar  untuk menjadi diri mereka sendiri. Dengan demikian setiap pendidikan  adalah otonom dan unik untuk menjadi diri mereka sendiri. Pendidikan  yang demokratis akan melahirkan masyarakat yang demokratis dan akhirnya akan menyumbangkan lahirnya bangsa yang demokratis. 
*Sekjen BK HIMASI Mantan Ketua Umum Pengurus Daerah Pelajar Islam Indonesia (PII) Sukabumi
Dicuplik sebagian dari buku "Pendidikan Populer" (Mansur Fakih) dan Ta'dib Pelajar Islam Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar